“Kamu masih hobi traveling?”
Seorang teman bertanya kepada saya ketika kami sama-sama menunggu dosen di lorong Jurusan.
Saya nggak tahu darimana dia menyimpulkan saya hobi traveling, atau dia cuma basa-basi mau bahas topik pembicaraan baru saja terkait traveling.
Maka saya jawab :
“Sejak kapan saya hobi traveling?”
“Terus hobi kamu apa?” dia kembali bertanya.
Untuk beberapa saat saya berpikir, “iya, hobi saya apa ya (sekarang)?”
Tapi mulut saya berkata “Nggak tahu”
Dulu, jika pertanyaan ini ditanyakan kepada saya setidaknya hingga tahun 2013, saya akan jawab “hobi saya menggambar”. Namun, jika sekarang saya jawab hobi saya menggambar rasanya kok seperti membohongi diri sendiri; Saya sudah nggak ingat kapan terakhir kali pegang peralatan gambar saya. Satu set pidol yang dibeli mahal-mahal juga sekarang hanya dipakai untuk coret-coret di tembok (*saya punya “tembok curhat” di kamar, tempat saya nulis-nulis pemikiran atau quotes untuk motivasi diri sendiri). Pensil warna yang dibeli karena ingin coba style gambar baru juga ternyata hanya beberapa kali dipakai lalu bosan. Drawing pen berbagai ukuran kini tinggal sisa satu dan menjadi alat tulis tiap konsul skripsi. Pensil ukuran HB sampai 8B sekarang entah ada dimana. Sketchbook terakhir yang dibeli masih sisa banyak sekali halaman kosongnya. Jadi, kok bohong sekali kalau saya bilang hobi saya (masih) menggambar. Sok bikin menu “drawing” pula di blog ini tapi nggak ada isinya..
Jadi apa hobi saya?
Traveling? Ah ini sih hanya bisa dilakukan jika ada waktu kosong dan banyak uang. Terutama alasan yang kedua sih ya. Kalau begitu mana bisa disebut hobi? Hanya karena saya beberapa kali pernah jalan-jalan, tentu saya belum bisa menyebut traveling sebagai hobi saya. Kecuali saya sudah bisa seperti mbak Trinity..
Memasak? Ini apa lagi.. Memasak memang seringkali jadi sedikit hiburan bagi saya. Maka, tiap ada libur agak panjang, saya selalu menyusun rencana ingin masak sesuatu. Tapi memasak baru bisa dikatakan sebagai hobi saya suatu saat nanti ketika saya nggak jijik lagi dengan beberapa (banyak) bahan masakan.
Baca novel? Sekarang? Mana ada waktu, baca jurnal saja mata sudah lelah. Rencana menabung demi novel baru juga gagal terus. Bahagia saat To Kill a Mockingbird-nya Harper Lee akhirnya keluar versi bahasa Indonesia-nya dan bahkan buku ke-2 nya, tapi sampai sekarang belum kesampaian beli juga. Padahal dulu berkali-kali keluar masuk Gramedia cari-cari mulu, selalu ada sih di katalognya tapi nggak pernah ada stoknya. Pas akhirnya ada dan bahkan sudah terjemahan, sudah nggak punya waktu dan nggak punya uang. Sedih. Novel terakhir yang dibeli adalah Critical Eleven-nya Ika Natassa. Beli saat stres-stresnya proyek tugas akhir. Sabtu pagi, bangun tidur tiba-tiba ingin baca novel. Jam 10 pagi ke Gramedia, belum mandi. Datang, ambil, bayar, pulang. Jarak rumah dan Gramedia? 15 menit naik motor.
Nonton film/drama? Ini memang selalu dilakukan setiap hari. Tapi ini sih demi jiwa yang sehat saja agar tidak gila terus-terusan skripsian. Semacam refresh otak gitu sebelum atau sesudah skripsian.
Kalau syarat sesuatu itu bisa disebut hobi hanya karena saya menyukainya saat melakukan hal tersebut, maka daftar diatas bisa menjawab pertanyaan teman saya itu. Namun, pemahaman saya tentang hobi adalah sesuatu yang disukai dan (harusnya sih) dilakukan secara rutin. Jadi, manakah yang bisa disebut hobi? Saya suka tapi sudah tidak pernah saya lakukan, atau saya lakukan setiap hari tapi bukan karena saya suka meski juga menyenangkan?