Sebagai penonton berbagai variety show, film hingga drama Korea, selalu ada di benak saya bagaimana Korea bisa seheboh sekarang. Bagi orang-orang angkatan kelahiran awal 90-an (atau yang lebih tua) seperti saya, dulu pernah merasakan fase ketika Taiwan sedang jaya-jayanya di Indonesia. Demam F4 dengan Meteor Gardennya jelas tak terlupakan. Berbicara mengenai drama, ketika pertama kali “terpapar” drama Korea seperti Winter Sonata dan Endless Love dulu, saya justru tidak tertarik karena lebih menyukai drama Taiwan –yang kala itu banyak di putar di televisi Indonesia (atau mungkin karena memang saya males sama cerita melodrama aja sih). Satu yang saya tahu, -sekedar tahu (lupa juga tahu darimana)- adalah Korean Wave –Hallyu merupakan program pemerintah Korea. Bagaimana, kenapa dan kok bisa, saya belum pernah berusaha mencari tahu apalagi menemukan jawabannya, hingga saya iseng meluangkan waktu membaca buku ini.
The Birth of Korean Cool : How one nation is conquering the world through pop culture, ditulis oleh jurnalis keturunan Korean-American (Kedua orang tuanya tinggal di US hampir 20 tahun lalu kembali ke Korea di tahun 1985, dalam program pemerintah yang menarik pulang orang-orang pintar Korea untuk “pulang kampung”). Sebenarnya jika ingin sekedar tahu jawaban dari pertanyaan saya diatas, membaca Introduction dari buku sudah cukup menjawab. Namun, pembahasan lebih lengkap ada di dalam tiap bab buku ini tentu saja.
Tahun 1994, Pemerintah Korea membangun infrastuktur internet, selayaknya membangun jalan tol atau rel kereta api. Korea bersiap untuk “terbuka”, membangun jalan internet. Bukan terbuka untuk menerima berbagai hal dari luar, tapi sebaliknya. Mereka mempersiapkan mekanisme dominasi pop culture ini sejak munculnya world wide web.
Pertanyaannya kemudian, Kenapa?
Korea mengembangkan “soft power”-nya. Hard Power adalah kekuatan militer hingga ekonomi, Soft Power menunjukan kekuatan negara melalui citra, sebagaimana US dengan Marlboro Reds dan Levi’s Jeans-nya James Dean.
Pemerintah Korea Selatan menjadikan Korean Wave sebagai prioritas utama. Menyasar negara-negara dunia ketiga, yang terlalu miskin untuk dipedulikan bagi sebagian besar negara-negara barat. Korea mempelajari budaya negara-negara dunia ketiga ini untuk menentukan produk “K-culture” apa yang akan disukai. Dan satu kekuatan Korea dalam hal ini adalah, karena Korea juga dulunya negara dunia ketiga, mereka paham betul fase perkembangan negara-negara ini. Ahli-ahli ekonomi Korea bekerja melihat tingkat kemampuan daya beli si negara-negara sasaran ini. Makanya ya, nggak heran banyak fans-fans Kpop dari berbagi negara Timur Tengah, Eropa Timur, Amerika Latin dan Asia Tenggara tentu saja.
Pemerintah Korea memiliki multiple five year plans. Mereka memahami bahwa menyebarkan budaya Korea bergantung pada kekuatan Internet. Maka, mereka mensubsidi akses internet bagi kalangan miskin, orang tua dan disabled. Tidak hanya pemerintah yang memiliki five year plans, begitu pula perusahaan-perusahaan swasta. Salah satunya bisa dilihat di perusahaan-perusahaan rekaman yang biasanya menghabiskan 5-7 tahun untuk mendidik calon-calon artis mereka.
Bagaimana kemudian pemerintah dan swasta bisa “sejalan”?
Ekonomi Korea sendiri merupakan sebuah paradoks; di satu sisi ia sangat kapitalis namun pemerintah Korea juga selalu ikut campur dalam industri swasta. Korea adalah satu dari sedikit negara yang pemerintahnya berinvestasi di perusahaan-perusahaan start-up negeri sendiri. Hampir sepertiga dari venture capital di Korea untuk industri hiburan, lebih banyak dari sektor-sektor lain. Bahkan di tahun 2009, pemerintah Korea mengalokasikan 91 juta US dollar untuk menyelamatkan K-pop ketika industri rekaman terseok karena illegal music download. Program didalamnya termasuk membangun K-pop center concert hall hingga menciptakan regulasi terkait royalti yang harus dibayarkan oleh pemilik noraebang (tempat karaoke) untuk semua lagu-lagu yang dimainkan.
The nation has decided that the twenty-first century will be Korea’s century, just as the twentieth century was America’s century.
Sebagaimana judulnya, “The Birth of Korean Cool”, buku ini tidak hanya langsung membahas tentang budaya pop Korea itu sendiri, namun bagaimana Korea bisa seperti sekarang. Mulai dari isu pendidikan (apa yang digambarkan di drama-drama Korea bagaimana si guru ringan tangan, ternyata emang dulu beneran terjadi) yang terkait dengan mentalitas orang Korea, sistem penamaan di Korea, hierarki tata krama, bunuh diri, kimchi, plastic surgery, ketegangan dengan Jepang dan Korea Utara, hingga Kpop dan Kdrama tentu saja.
Bagi orang-orang yang tertarik dengang Korean pop culture atau Korean culture in general, this book is definetly worth reading. Dengan gaya penulisan yang santai, dan sudut pandang yang digunakan, buku ini asyik dibaca. Tidak seperti membaca buku literatur hasil riset karena dengan gaya penulisannya, buku ini serasa lebih akrab selayaknya seorang teman yang sedang bercerita namun tetap informatif.
“It’s no wonder so many people around the world have caught the Korean Wave –Hallyu”
Barack Obama
*Of course, Korea refers to South Korea