Beberapa hari pasca wisuda, saya memutuskan untuk mengikuti pelatihan menjahit yang dilakukan di salah satu Lembaga Pelatihan Keterampilan (LPK) di daerah Pedurungan, Semarang. Saya sama sekali tidak memiliki informasi terkait apa dan bagaimana sebenarnya pelatihan di LPK ini. Sedikit browsing sana-sini, saya pikir lembaga seperti ini hanya diperuntukan bagi para pencari kerja dengan fokus dari pelatihan yang diadakan lembaga tersebut. Maka, karena LPK ini untuk menjahit, saya pikir pesertanya adalah calon-calon pekerja di industri konveksi.
Rabu Siang, (2/10) saya memperoleh sms terkait informasi adanya pelatihan tersebut dan diminta untuk segera menguhubungi pemilik LPK. Namun, saya masih ragu karena saya pikir jangan-jangan dengan saya ikut pelatihan tersebut saya justru “mengambil hak” orang yang memang seharusnya mengikuti pelatihan itu (seperti yang saya sebut diatas : calon pekerja industri konveksi). Lalu, karena enggan mengecewakan orang yang sudah berbaik hati memberi tahu saya terkait pelatihan ini, saya pun meyakinkan diri untuk menghubungi pemilik LPK. Hal ini saya lakukan awalnya sekedar untuk menanyakan informasi terkait syarat pendaftaran, dan pelatihan seperti apa yang akan dilaksanakan. Tidak lama, pesan saya melalui whatsapp dibalas, dan ternyata saat itu kuota peserta sudah penuh. Namun, saya diminta untuk menunggu untuk kemudian akan dihubungi beberapa jam kemudian jika ada peserta yang mengundurkan diri. Hari itu pelatihan sudah dimulai. Memang benar, ternyata ada satu peserta yang mengundurkan diri dan saya bisa menggantikannya. Saya pun diminta untuk langsung datang keesokan harinya.
Singkat cerita, akhirnya saya mengikuti pelatihan selama 13 hari dengan hasil karya pouch, totebag, gantungan kunci, sarung bantal, tempat tisu, serta mukena. Pelatihan ini justru bertujuan lebih ke pada menciptakan calon-calon wirausaha, dibandingkan pekerja (maka perkiraan saya salah besar). Pesertanya pun mayoritas ibu-ibu rumah tangga. Untungnya, ada juga 2 orang lain yang statusnya masih sama seperti saya, yakni pengangguran baru lulus kuliah. Jadi, lumayan ada teman ngobrol yang seumuran. Meski begitu saya juga ngobrol sih sama ibu-ibu lainnya. Hanya kadang terlalu sering obrolan ibu-ibu ini “diluar jangkauan” saya sama sekali. Seperti obrolan terkait sinetron, obat paling mujarab untuk berbagai penyakit (yang ternyata produk MLM), hingga perbincangan terkait persoalan rumah tangga dengan referensi Ustadzah TV. Kalau sudah seperti itu, kalau sedang tidak ada 2 teman lain seumuran itu, saya memilih meninggalkan lokasi, pindah tempat, atau mengabaikannya saja dengan fokus menyelesaikan jahitan.
Terlepas dari barang-barang yang dihasilkan (yang mana milik saya sangat tidak bemutu karena sangat berantakan), setidaknya saya akhirnya bisa memperbaiki mesin jahit di rumah yang sudah bertahun-tahun teronggok tidak terpakai. Mesin yang semula dikira rusak, namun ternyata hanya salah urutan memasukan benang. Jadi kembali antusias untuk belajar membuat baju dari ide-ide sendiri. Meski membuat baju dan membuat pouch itu dua hal yang sangat tidak bisa dibandingkan sih.