Izinkan saya sedikit bernostalgia, mengingat sebagian dari kisah 2 bulan merantau di Ibukota.
Saya tidak pernah memahami kerasnya Ibukota, hingga saya menjadi bagian di dalamnya.
Saya tidak pernah meahami betapa hebatnya Ibukota hingga mampu mengubah (atau membukakan wawasan) selera musik lokal saya.
Jadi bagaimana Jakarta merubah selera musik saya?
Berangkat siang, pulang malam. Weekend juga pernah harus ke kantor. May Day? Oh apa itu?
Kamar kost sederhana berukuran 4×2,5 meter di sebuah perkampungan belakang kantor saya di kawasan Mega Kuningan (yang tarifnya sebulan kalau di Semarang sudah dapat kamar ber-AC dengan perabotan lengkap) saya menghabiskan malam-malam saya sendirian selama dua bulan. Saya nggak ngerti apakah memang lagu-lagu indie dengan lirik yang seringkali terlalu tersirat maknanya dan melodi yang adem membahagiakan hingga kelam suram, memang temannya orang-orang kesepian. Namun itulah yang terjadi terhadap saya.
Saya adalah penikmat musik-musik yang disediakan media mainstream. Saya hanya mendengarkan musik yang banyak di bahas. Jika saya ingat, saya SD dan SMP adalah saya yang akan selalu mengingat semua lirik lagu yang sedang hits di radio. Saya dulu suka sekali dengan band-band lokal dari Jamrud, Dewa, Sheila On 7 hingga Ungu, Peterpan, Ada Band dan semua band-band yang sedang hits kala itu (kecuali ketika era band melayu muncul). Saya tidak mengenal band-band indie kecuali Mocca. Maka, saat menemukan sebuah channel youtube Indie lokal -saat saya bosen mendengarkan playlist youtube satu jam berisi “musik yang bisa membuat fokus bekerja”- rasanya seperti minum kopi tanpa gula. Aneh, tapi saya suka. Nggak langsung suka tentu, tapi makin lama makin suka.