Pernah nggak tiba-tiba nyanyi lagu yang sudah lama sekali dan masih ingat liriknya? Barusan itu terjadi sama saya. Seketika langsung mengagumi kemampuan otak kanan yang luar biasa tentu saja. Selain itu, langsung deh berasa nostalgia. Lagu berjudul “Kotak Musik” dari album My Life-nya Sherina yang saya nyanyikan. Maka, seketika saya rindu ingin kembali mendengarkan album tersebut. Setelah nemu albumnya (hasil download gratisan -maafkan) rasanya semua memori langsung berlomba-lomba naik ke permukaan.
Saya jadi ingat ketika saya membeli cd bajakan album My Life-nya Sherina ini di pasar. Lalu, saya jadi ingat bahwa beli cd adalah salah satu rutinitas saya dan Bapak tiap hari Minggu. Bapak selalu cari cd campursari, sementara saya boleh memilih satu cd yang saya mau. Sesampainya di rumah pasti langsung diputar berkali-kali. Dari masa awal-awal memiliki vcd player -saya lupa umur saya berapa- hingga ketika vcd player sudah kalah keren dibanding dvd player. Mulai dari kumpulan lagu anak-anak, hingga album Peterpan dan Rihanna.
Album My Life – Sherina ini terasa spesial tentu saja karena saat itu Sherina adalah artis cilik paling disukai dan nggak ada bandingannya, ditambah heboh Petualangan Sherina tentu saja (Saya masih ingat betapa saya sangat menyukai Sherina hingga ketika beli martabak dan liat ada artikel secuil koran di gerobak tukang martabak itu saya ngebet banget mau baca). Maka, ketika saya memilah barisan cd di rak bagian anak-anak dan menemukan cd berwarna pink itu rasanya seperti menemukan harta karun. Setiap hari setelah saya memiliki album bajakan itu, tiap hari saya karaoke-an.
Bahkan, saya hampir mengikuti lomba menyanyi dalam rangka 17-an di SD kala itu dengan menyanyikan lagu “My Life”. Sayang, saya masih nggak cukup punya nyali untuk pede nyanyi di depan teman-teman. Saya mengurungkan niat tersebut selain alasan pertama, saya juga sedang mengikuti pelatihan untuk persiapan lomba agama Islam se-kota, jadi sibuk di dalam ruangan bersama beberapa teman partner lomba, sementara yang lain asyik menikmati berbagai lomba 17-an. Selain alasan itu juga beberapa kali ada teman yang ikut lomba nyanyi 17-an itu gagal karena cd yang dibawa tidak bisa dijadikan karaoke-an. Saya jadi ingat beberapa kali saya ambil cd album “My Life” dari tas, maju mundur mau ikutan atau tidak. Oh, dan tentu saja tidak ada teman saya yang tahu kalau saya ingin ikut lomba nyanyi itu. (Kala itu saya ragu saya bisa menyanyi atau tidak, hingga pada masa SMA saya menyadari dan menyesali masa itu ketika saya ternyata bisa lolos seleksi ekstrakulikuler paduan suara meski akhirnya nggak lanjut aktif. Andai sejak SD saya mengetahui saya bisa nyanyi -meski mungkin nggak spesial amat suaranya juga- siapa tahu saya bisa mengembangkan kemampuan saya itu kan.)
Teringat masa-masa saya suka beli cd bersama Bapak, memori-memori lain pun kembali bermunculan. Jauh sebelum kami punya vcd player, saya ingat dibelikan Bapak kaset Saskia-Geofanny-Angie (Asli bukan bajakan), yang ada lagunya berjudul “Hello Dangdut” beli di toserba “Siranda” yang kini sudah nggak ada. Saya sudah nggak ingat sih dulu sama Bapak cari apa di toserba ini. Tapi saya masih ingat ketika saya melihat kaset ini di rak dekat kasir kala itu dan melihat harganya 15 atau 25 ribu gitu. Saat itu harga segitu rasanya sih terlalu mahal untuk uang jajan. Tapi ternyata Bapak mau beliin saya itu. Mungkin Bapak juga sudah nggak ingat kalau saya tanya kembali.
Kalau diingat masa-masa itu, hidup memang jauh lebih sederhana. Tiap minggu pagi kami selalu sepedaan. Sejak saya kecil sebenarnya saya sering diajak sepedaan bersama Bapak, naik keranjang duduk buat anak-anak yang ditaruh di depan itu. Dari ke Simpang Lima lalu ke Tugu Muda dan pulangnya mampir dulu ke Pasar Bulu untuk beli sate telur puyuh favorit. Hingga saya bisa naik sepeda sendiri dan kemudian punya adik, kami masih sering sepedaan tiap Minggu. Saya masih ingat pernah pergi ke Tanjung Mas naik sepeda dengan masih pakai daster tidur. Karena memang mulanya kami tidak berniat ke Tanjung Mas, tentu nggak bawa handuk apalagi baju ganti. Saya masih ingat sensasi dinginnya punggung yang basah terkena angin pagi hari saat bersepeda kala itu. Merinding. Dan tentu saja mengeluh pegel sekali kaki rasanya mengayuh sepeda dari Sampangan hingga Tanjung Mas. Kala itu umur saya masih 6-7 tahun.
Kalau diingat-ingat, saya masa kecil memang sangat dekat sama Bapak. Banyak hal-hal yang saya lakukan hanya bersama Bapak. Pada usia saya dibawah tiga tahun, belum lepas ASI, saya bersama Bapak pergi ke Baturetno, Wonogiri tempat kerabat. Samar-samar saya masih ingat kami harus turun dari Bis karena saya harus poop. Maka, di kampung entah apa saya nggak tahu, Bapak membeli 2 botol Aqua besar di sebuah warung, Aqua itu bukan untuk saya minum tentu saja..
Selain sepedaan di Minggu pagi. Kalau sore kami sering naik perahu punya Pakde di sungai Kaligarang yang menjadi transportasi shortcut buruh pabrik yang bekerja di daerah Simongan dan tinggal di daerah Sampangan-Kelud. Memacu adrenalin dengan duduk menghadap sungai dan menurunkan kaki, merasakan dinginnya air sungai. Melihat orang mancing, ibu-ibu tua penambang pasir yang entah gimana bisa menenggelamkan badannya hingga sebatas leher dan kuat menggendong keranjang berisi pasir ke darat. Kalau sudah lapar kami pergi ke warung yang ada di seberang untuk beli makanan. Dulu saya suka kagum gitu kalau liat orang naikin sepedanya ke perahu itu. Atau saya selalu penasaran gimana cara kerja katrol yang bikin perahu itu bolak balik dengan ditarik. Tentu saja saya juga selalu kepikiran gimana kalau perahu itu kelebihan penumpang.
Saya juga jadi ingat ketika saya dan Bapak pulang ke Semarang duluan tanpa Ibu ketika mudik Lebaran. Ibu harus stay di rumah mbah dan pulang beberapa hari berikutnya. Rumah mbah ini cuma di Mranggen, Demak. Kala itu kami naik semacam angkutan plat hitam seperti travel gitu dan saya mabok darat. Muntah-muntah parah mengotori kaki-kaki penumpang lain dan baju saya sendiri. Terpaksa kami harus turun. Saat itu sih sudah sampai di Pasar Johar. Lalu, kami masuk Matahari Johar yang kini sudah nggak ada itu dan membeli baju untuk saya ganti. Saya masih ingat saat itu Bapak membelikan saya rok terusan cantik berwarna hijau. Kalau dipikir lagi, kok lebay ya segala beli semacam dress gitu, kenapa nggak beli kaos biasa gitu, kan cuma buat ganti. Kalau saya tanya Bapak pasti sudah lupa. Mungkin karena itu baju yang pertama kali diliat pas masuk kali ya dan Bapak kan manusia ogah ribet. Saya juga masih ingat ketika digendong bapak naik lift karena saya takut dengan eskalator kala itu. Saya juga masih ingat ketika di hari-hari berikutnya saya kangen banget sama Ibu sampai menulis-nulis nama ibu di kotak pensil warna Luna saya.
Berbicara tentang eskalator, saya kecil entah kenapa sangat takut dengan tangga berjalan ini. Cerita ini baru saja jadi topik pembicaraan beberapa hari yang lalu karena tante saya yang dulu menemani saya berkunjung dan tentu saya juga masih jelas mengingatnya. Kala itu saya masih TK, ikut lomba mewarnai di Sri Ratu Pemuda yang diadakan oleh Marimas. Pada masa itu Marimas hadir dengan tokoh Kapten Marimas gitu dengan musuhnya yang berwarna ungu entah siapa namanya saya lupa. Saat itu di hari yang sama saya juga harus menghadiri pengumuman lomba mewarnai se-Kota yang sebelumnya saya ikuti di Gedung Wanita. Belum juga pengumuman, saya harus segera pergi ke Sri Ratu untuk lomba mewarnai Marimas ini. Pokoknya hari itu ribet banget deh. Sampai di Sri Ratu, ternyata keribetan tante saya belum berakhir karena saya nangis kejer takut naik eskalator. Akhirnya, saya pun sampai digendong satpam untuk naik eskalator. Sampai di lokasi lomba, ternyata Kapten Marimas dan musuhnya dalam bentuk wujud asli sangat menyeramkan bagi saya. Saya pun kembali nangis dan ngambek mau pulang nggak mau menyelesaikan mewarnai kertas gambar saya. Saya masih ingat ketika saya dibujuk-bujuk tante untuk menyelesaikan gambar, akhirnya saya warnai seadanya yang penting kelar dan tentu saya nggak menang. Sedihnya -dan senangnya- ternyata saya menang di lomba mewarnai sebelumnya itu meski hanya Juara Harapan 1. Kalau mengingat masa itu saya pun menyesal selain karena nggak bisa menerima langsung piala saya (yang dititpkan ke tetangga saya) tapi juga gagal ketemu Pepeng. Pepeng kala itu sangat terkenal. Saya yang duduk jauh dari panggung kala itu hingga akhirnya harus pergi untuk lomba marimas, hanya melihat kepala Pepeng dari belakang dan rantai kacamatanya. Oh tentu saja tante saya juga menyesali hal ini. Iya, gagal ketemu Pepeng-nya..
Hidup kala itu terasa jauh lebih sederhana tapi memorable. Sebelum semuanya tenggelam di otak saya dan tidak ingat kembali di masa depan, untuk itu saya menulis ini. There are so many things worth remembering in life. Sayang, kemampuan otak kita tidak cukup mumpuni untuk mampu mengingat semuanya. Maka, mumpung teringat, lebih baik segera direkam, meski dalam tulisan yang ngalor ngidul.