Setelah naruh-naruh tas, cuci-cuci muka, rebahan-rebahan dikit, berdasarkan itinerary asal yang aku bikin di notes di HP, kami pun segera meluncur ke Pasar Gede, buat nyari Timlo Solo. Katanya, Timlo Solo merk Timlo Sastro ini terkenal gitu. Karena buta jalanan disana, dan angkutan umum pun tak mengerti, kami pun tanya dulu sama bapak-bapak karyawan hotel. Dengan petunjukya, kami segera berjalan menyusuri Jl. Slamet Riyadi menuju halte BST (Bus Solo Trans)ongkosnya cuma 3500 rupiah.
Turun dari BST kami masih nggak tau tempatnya si Timlo Sastro ini ada disebelah mananya “belakang Pasar Gede”. Sok-sokan mau menguji kemampuan berbahasa Jawa bener dan krama, aku nanya ke mas-mas di dekat halte, dimanakah letak Timlo Balong (di Solo sendiri Timlo Sastro lebih terkenal dengan sebutan timlo balong -hasil browsing-)
Mas-mas penunjuk jalan itu, ngasih tau untuk jalan lurus mentok, dan lokasinya ada di dekat tempat sampah.
Dan setelah berjalan agak lama kok nggak sampai-sampai ujung jalan, akhirnya kami melihat tempat sampah itu (bentuk tembok tinggi tempat bak sampah seperti yang biasa ada di Pasar-pasar gitu) dan Timlo Sastro ini ada di seberangnya agak jauh. Kami pun akhirnya masuk ke warung Timlo Sastro yang rame parah itu.

Saat masuk kami lalu bingung nyari tempat duduk, nggak ada pelayan yang inisiatif nanyain mau pesan apa, kami nggak ngerti gimana cara pesannya. Ada beberapa orang pelayan yang berdiri, ada yang di bagian minuman, ada yang motong-motongin sosis Solo. Karena kami duduk di dekat bapak yang nyiapin makannya kami pun nanya,
“gimana pesannya?”
“pesan sini aja bisa mbak”
dan kami pun memesan 2 porsi Timlo komplit, 2 nasi dan 2 es jeruk.

Sial. Aku tertipu sama review menu Timlo Solo ini. Beberapa review di blog-vlog yang aku baca, fotonya nikmat banget kayaknya, terlihat seperti Soto gitu. Eh ternyata Timlo itu hanya potongan Sosis Solo, Telur Pindang, ati ampela, dalam kuah kecap. Mana baunya amis banget pula. Subyektif sih ya, namanya selera. Mana pas makan pun juga nggak tenang karena nggak enak kalo lama-lama sedangkan orang-orang pada antre mau duduk.
Setelah kenyang campur mblenger kami pun segera kembali berjalan, tujuan selanjutnya adalah Keraton. Seperti biasa, karena clueless, kami nyusun rencana dulu, yang dilakukan dengan …. duduk di emperan toko-toko yang udah tutup di samping Pasar Gede, nggak jauh dari lokasi Timlo ini.
Diseberang tempat kami duduk ada warung gitu, sok-sokan (lagi-lagi) ngetes kemampuan berbahasa Jawa bener dan krama, akupun memutuskan buat nanya ke ibu-ibu pemilik warung
“arah keraton pundi nggih bu? “
Ibunya menjawab pakai bahasa Jawa yang kurang lebih artinya tinggal lurus aja lalu ke kiri. Kalau jalan kaki ya lumayan jauh, mending naik becak paling 7000.
Berdasarkan googlemaps, yang selalu memandu kami melangkah, lokasi Keraton ini nggak jauh dari Pasar Gede. Maka, kami yakin buat jalan kaki. Setelah agak berjalan lumayan jauh, kami tanya ke tukang parkir arah jalan ke keraton dan dengan semangat “prinsip jalan santai yang penting asyik dan sambil menikmati suasana Solo” (panjang ya… ) kami terus saja melangkah sesuai petunjuk bapak tukang parkir.
Jalan kaki di Solo itu enak, meskipun panas, tapi nggak bisa ngalahin panasnya Semarang. Cenderung adem malah. Citywalk di Slamet Riyadi juga asik buat jalan kaki, meski harus berbagi sama becak dan motor yang kurang ajar lewat. Nah kalau jalan ke arah Keraton dari pasar Gede, kalau nggak salah Jl. Urip Sumoharjo, itu trotoarnya juga luas dan ga licin kayak di Semarang. Jadi jalan kaki ya asyik-asyik aja.
Meski pas pulang dapet kapalan di kaki sih….
Jadi, ternyata arah Keraton ini tadi pas berangkat sesungguhnya kami lewatin. Namun, karena duduk di dalam bisnya kami membelakangi Keraton jadi lah nggak terlihat.

Masuk area wilayah Keraton kami masih agak mikir kembali memasuki tahapan clueless dan mikir-mikir linglung mau gimana. Tanyalah kami sama tukang jualan arah ke Keraton. Katanya lumayan jauh jalannya, karena harus lewatin alun-alun, dan masih kesonooooo lagi.Kamipun mendapat saran mending naik becak aja…
Karena tadi dari Pasar Gede ke Keraton kami sudah jalan jauh, kami pun memutuskan buat naik becak. Bayarnya 7000 kata si bapak tukang becak. Jalanan di seputaran Keraton itu dibatasi sama dinding-dinding putih. Sama kayak di Jogja di daerah arah keraton gitu. Kalau nggak salah memaknai tulisan di plang di jalanan itu. Jalan itu namanya “Supit Urang”.
Sesampainya di Keraton kami langsung masuk gitu. Mikirnya kan masuknya di gedung keraton yang biru itu ya, yang ada menaranya itu. Ternyata nggak. Kami masuknya di pintu sampingnya gitu. Masuk kesitu nggak ada loket, tapi pas masuk lagi ternyata kita ditarikin duit 10 ribu. Katanya buat bayar tiket gitu. Tapi kami nggak dikash tiket…
Bawaannya kok bikin suudzon ya..
Nah ternyata memang area ini saja yang dibuka buat umum. Si keraton Biru itu nggak boleh dimasukin gitu. Bagian yang kami masuki ini adalah bagian keraton yang berpasir itu loh, yang harus lepas sandal. Karena Dora pakai sepatu dan aku pakai si sandal crocs pasaran itu, kata bapak penjaganya kami nggak perlul melepas alas kaki. Padahal aku udah mikir, gila nih sandal pasarana kalau dilepas gimana ceritanya kalau sampai ketuker sama punya orang. Jadi, alas kaki yang harus dilepas adalah yang benar-benar serupa sandal. Kalau si Crocs malindi pasaran kan ada tali belakangnya gitu.
Masuk area keraton itu ya cuma layaknya museum gitu. Lorong-lorong panjang, banyak relief di dinding, kereta-kereta kuda, foto-foto, barang-barang kuno, dsb. Malah suasana di luar lebih asyik. Di bagian halaman berpasir itu. Pohon-pohon tinggi dengan jarak yang lumayan agak jarang, tapi penuh. Gimana ya … pohonnya banyak tapi teratur rapi gitu, kayak scenes drama Korea di pulau Jeju~

Sedangkan, suasana di dalam ya singup. Hawane merinding. Ngebayangin kereta-kereta kuda udah ada dari jaman dahulu kala, suasana remang-remang, belum lagi ditambah aroma kemenyan dari sesajen yang ada di setiap sudut itu. Siang-siang pun rasanya ngeri kalau sendirian di salah satu ruangan.
