Hidup manusia pasti tidak sempurna seperti instagram feeds-nya. Tapi apa yang dilihat dari social media itulah yang kemudian membangun citra seseorang. Benar atau tidaknya sih bisa kita bahas nanti ya. Namun, pada akhirnya sekarang ini hidup kita memang nggak jauh-jauh dari upaya membangun citra itu. Padahal apa yang diperlihatkan belum tentu seperti apa kenyataan.

Catherine –Katie/Cat- Brener, perempuan muda asal Somerset selalu memiliki mimpi untuk bisa menjadi Londoner, and She made it. Meski tiap pagi harus bersusah payah menaiki tube (kereta) yang sudah seperti neraka, ataupun kamar tidurnya hanya seluas 3 kaki persegi, ia tidak peduli. Mengubah dirinya agar bisa menjadi “orang kota”, meninggalkan aksen West Country yang ia miliki, mengubah gaya berdandannya, dan menjadi Cat Brenner si Londoner, bukan lagi Katie Brenner si gadis Somerset.
Jika orang hanya melihat postingan instagram Katie: cafe-cafe di London, pemandangan, minuman, orang-orang tersenyum (mostly strangers). Semua layaknya apa yang terlihat di film-film. Banyak orang menggunakan filter di instagram, dan bagi Katie, filternya adalah “this is how I’d like it to be” filter. Menurut Katie itu bukan sebuah kebohongan. She just doesn’t dwell on any of the not-so-great stuff in her life, seperti susah payahnya tiap pagi di kereta hingga pakaian-pakainnya yang hanya ia letakan di hammock di atas tempat tidurnya, apalagi ditambah roommate yang menyebalkan. Bagi Katie, postingan instagramnya adalah something to aspire to, something to hope for.
“One day my life will match my Instagram posts. One day” –katie
Berbanding terbalik dengan kehidupan susah si Katie, ada Demeter Farlowe, the woman with the perfect life. Demeter adalah bos di marketing agency tempat Katie bekerja. Demeter memiliki kehidupan yang sempurna di mata Katie. Keluarga bahagia, pergi dari satu pesta ke pesta lain, rumah indah dan karir yang cemerlang. Kehidupan sempurna yang selalu dimimpikan Katie, ada dalam sosok Demeter Farlowe, si bosnya sendiri itu. Setidaknya hingga kemudian Katie menyadari bahwa pada akhirnya tidak ada kehidupan yang sempurna, bahkan untuk Demeter sekalipun.
Bagi para pembaca chick-lit tentu tidak asing dengan nama Sophie Kinsella. Saya sendiri dibanding novelnya, lebih dulu menonton film-film adaptasi dari novel-novel Sophie Kinsella; The Devil Wears Prada dan Confession of a Shopaholic. My Not So Perfect Life ini adalah novel kedua Sophie Kinsella yang saya baca setelah The Undomestic Goddes (yang dibeli dapat dari bookfair dan dibaca 2 tahun kemudian). Pada buku yang paling baru ini, Sophie Kinsella banyak sekali menyentil topik yang sangat relatable untuk masa kini. Mulai dari drama di kantor hingga “palsu”-nya hidup di social media, dan tentu saja pasto selalu ada “prince charming” di setiap novel seperti ini. Sudah pasti ya novel-novel genre seperti ini formatnya ya begitu-begitu saja, mudah ditebak.
Tapi jika mencari bacaan ringan memang novel Sophie Kinsella cocok untuk jadi pilihan. Kalau saya sendiri, meskipun cukup menikmati novel-novel genre young adult/chick-lit/metropop gini, namun dari dua novel Sophie Kinsella yang sudah saya baca, nggak pernah saya nggak skimming pada beberapa bagian karena terlalu bosan. Bahkan, saya memilih baca bab terakhir duluan agar tahu endingnya, lalu kembali di bagian yang bikin bosan. Kalau ada waktu ya diulang dan diterusin, kalau nggak, ya sudah berarti memang cukup sebegitu saja dibacanya.
“Every time you see someone’s bright-and-shiny, remember: They have their own crappy truths too. Of course, they do. And every time you see your own crappy truth and feel despair and think, Is this my life, remember: It’s not. Everyone’s got a bright-and-shiny, even if it’s hard to find sometimes.”