“Senja” mungkin kata yang terlalu sering digunakan untuk melukiskan keindahan dan keromantisan hingga kesenduan dan nelangsa. Terlalu sering bahkan hingga pernah saya baca –lupa di mana, dalam sebuah tulisan tentang pendapat si penulis akan sebuah syair, ia berkata kurang lebih “tulisan ini indah tanpa perlu menggunakan senja di dalamnya”. Dan memang benar kata si penulis itu. Hanya karena “sifat” senja, ia jadi terlalu sering digunakan hingga seakan semua hal yang ada “senja”-nya jadi indah.
Saya tidak bisa tidak setuju dengan berjuta umat manusia yang juga menyukai keindahan senja. Salah satu hal yang saya sesali pernah menghabiskan waktu selama dua bulan di salah satu gedung pencakar langit di Ibukota adalah tidak selalu bisa menikmati senja dengan bahagia dan tenang. Bukan karena saya sedang terjebak macet jam pulang kantor. Sebaliknya malah, seringkali karena saya sedang mengejar kerjaan yang harus segera diselesaikan karena sebentar lagi pulang, atau sedang terjebak dalam ruang rapat –yang justru harus ditutup kaca-kacanya karena sinar senja yang menyilaukan memantul ke dalam. Meski menikmati senja sudah menjadi rutinitas bagi sebagian orang di kantor kala itu, namun entah mengapa ada saja hal yang membuat saya gagal menikmati senja –dengan bahagia. Hingga dalam waktu dua bulan itu, hanya dua kali saya merasakan menikmati senja. Jika bisa dibilang menikmati.
Sejak pertama kali menginjakkan kaki di kantor kala itu, saya selalu berkhayal mendengarkan lagu-lagu sendu dan nelangsa sambil menikmati senja, sendiri. Namun tentu yang disebut terakhir itu mustahil, karena bukan hanya saya yang suka senja. Dua kali saya menikmati senja dari lantai 28 di kawasan Mega Kuningan kala itu adalah yang pertama karena kerjaan –jadi talent dadakan untuk video promo, dan yang kedua adalah murni ingin “menikmati” senja dengan seorang teman –yang justru berakhir dengan foto-foto karena si teman berulang kali bercerita betapa indah foto dirinya kemarin lusa berfoto saat senja, padahal saya pengennya sih duduk manis saja.. (misinya beda! ). Ah, tapi toh saya rasa saya juga tidak cukup bernyali untuk sendirian duduk diantara mas-mas yang sedang ngopi sambil ngobrol-ngobrol se-geng. Jadi, ya saya cukup mensyukuri “sesi foto” kala itu.
Bukan senja paling cantik dari lantai 28.
Berkuliah di kampus yang letaknya di Semarang atas dan tinggal di Semarang bawah, tidak jarang saya juga bisa “menikmati” senja. Seringkali ingin rasanya menghentikan motor, berhenti di suatu sudut jalan, hanya sekedar ingin memotret indahnya matahari yang kembali ke peraduan. Sayang, tidak pernah saya bisa mewujudkan hal itu, bahkan hingga sudah tidak lagi berkuliah. Mustahil untuk dilakukan karena jelas, ketika senja adalah saat dimana jalanan sedang sangat gila semrawutnya.
Saya hanya berharap, belum habis waktu saya untuk suatu saat nanti, menikmati senja seperti impian saya. Dimana pun boleh. Mau dari puncak gedung pencakar langit, dari atap rumah impian, atau di pinggir pantai yang sepi. Ditemani lagu-lagu merdu, secangkir minuman hangat, serta cerita dari orang yang duduk disamping saya, berbicara tentang hidup, tentang diri, dan tentang apa saja.